Natural capital
-
Natural Capital — Editorial Modal Alam - Pengantar
When did nature become a marketplace? Where one might imagine clean oceans and healthy forests to be priceless, they are often viewed global assets valued in economic terms. By allowing abstraction, opacity, and poetry to enter the discussion, perhaps we can attribute other forms of value to our environment than those of ‘natural capital’. A short history of the financialisation of nature joined with an exploration of more emancipated forms of mediation and representation. Sejak kapan alam menjadi sebuah pasar? Di mana kita membayangkan laut yang bersih dan hutan yang sehat menjadi tidak ternilai, mereka seringkali dipertimbangkan sebagai aset global yang bernilai ekonomis. Beberapa pemikiran dalam konsep modal alam, mediasi dan representasinya.
C. Dumoncel d’Argence and Laura Herman -
Natural Capital — The Exhibition Modal Alam - Pameran
For the second edition of the Europalia Curator’s Award, in the context of Europalia Indonesia, curators Charlotte Dumoncel d'Argence (FR) and Laura Herman (BE) developed the exhibition Natural Capital (Modal Alam), including five participating artists: Martin Belou (FR), Adrien Missika (FR), Rachel Monosov (IL), Offshore Studio (CH), and Adrien Vermont (FR). Untuk edisi kedua dari Penghargaan Kurator Europalia dalam konteks Europalia Indonesia, curator Charlotte Dumoncel d'Argence (FR) dan Laura Herman (BE) mengembangkan pameran Modal Alam, termasuk lima seniman yang berpartisipasi: Martin Belou(FR), Adrien Missika (FR), Rachel Monosov (IL), Offshore Studio (CH) dan Adrien Vermont (FR). Di sini kamu dapat menemukan katalognya.
C. Dumoncel d’Argence and Laura Herman -
Revisiting the Long Slow Walk to 900mdpl: a Personal Note Mengunjungi Kembali Jalan Panjang yang Lamban menuju 900 mdpl: Sebuah Catatan Pribadi
To grasp and share her irresistible attraction to returning to Kaliurang—a village at the gate of the volcano Mount Merapi where she grew up—Mira Asriningtyas invited fellow artists for residencies in the town. 900mdlp culminates in an exhibition and deambulation on the volcano-sides, weaving in and out of the narratives of the personified mountain. Untuk memahami dan berbagai ketertarikan yang tak tertahankan untuk selalu kembali ke Kaliurang – sebuah desa di gerbang gunung berapi, Gunung Merapi, di mana ia dibesarkan –Mira Asriningtyas telah mengundang rekan-rekan seniman untuk residensi. 900mdpl berujung dengan sebuah pameran dan deambulasi di sisi gunung, masuk dan keluarnyak narasi gunung yang dipersonifikasikan.
Mira Asriningtyas -
Nature Conflict Scenario Skenario Konflik di Alam
The observation of an environment and its inhabitants is part of a journey in bonding with nature and within ourselves. Departing from the belief that everything around us keeps moving, nudging, colliding or growing, Nature Conflict Scenario deciphers and fragments nature’s density and the invisible daily conflict taking place in a forest. Proses observasi terhadap sebuah lingkungan hidup dan para penghuninya adalah sebuah bagian dari perjalanan untuk menjalin hubungan erat dengan alam serta dengan diri kita sendiri. Berawal dari kepercayaan bahwa seluruh hal di sekitar hidup kita selalu bergerak, bersenggolan, bertabrakan atau tumbuh, "Skenario Konflik di Alam" menginterpretasikan fragmen-fragmen kepadatan di alam beserta konflik-konflik keseharian tak terlihat yang terjadi dalam sebuah hutan.
Yuki Agriardi -
Cooking in Pressure — Part I Memasak di Bawah Tekanan
The ethnobotanical project Cooking in Pressure, by Badukapan Food Study Group, engages with a knowledge of edible weeds and their intersection with gender. The film pits the minor histories of the female, former political prisoners of 1965–66, against the politics of food and agriculture policies implemented during Indonesia’s Soeharto-era. Proyek etnobotani Memasak di Bawah Tekanan oleh Bakudapa, studi grup makanan, melibatkan pengetahuan tentang tanaman liar dan persimpangannya dengan gender. Film ini mambawa sejarah kecil mengenai mantan tahanan politik perempuan 1965-66, diadu dengan kebijakan politik pangan dan pertanian yang diimplementasikan pada masa era Suharto di Indonesia.
Bakudapan -
Cooking in Pressure — Part II Memasak di Bawah Tekanan – Bagian II
Since there are no photographs to provide evidence for the events of 1965–66, Bakudapan Food Study Group has made a series of drawings based on the stories of the female ex-prisoners. The illustrations made in black ink become a historical metaphor for memory, which is always perceived in black and white, while the use of paper refers to memory’s fragility. Serangkaian sketsa berdasarkan cerita eks-tahanan politik perempuan, karena tidak ada foto-foto sebagai bukti dari 1965-1966. Ilustrasi tangan dalam tinta hitam menjadi sebuah metafora historis yang selalu dipresepsikan sebagai hitam putih, sementara medium kertas mewakili ingatan rapuh mereka.
Bakudapan -
Meta Rumah Meta Rumah Putih
Rumah Putih is a house located in the traditional whale hunting village of Lamalera, NTT Indonesia. From within, one can hear the sea and the sounds of daily life, but through the openings, the wind also carries inside, legends, stories, rumors, traditions, and the narratives of random encounters. Rumah Putih adalah sebuah rumah yang terletak di desa pemburu paus tradisional Lamarera, NTT, Indonesia. Dari dalam, seseorang dapat mendengarkan laut dan suara dari kehidupan sehari-hari, namun melalui pembukaannya, angin juga membawa di dalamnya, legenda, cerita, rumor, tradisi dan narasi dari pertemuan-pertemuan yang acak.
Yudi Chandra and C. Dumoncel d’Argence -
The offsetted Yang Digantirugikan
How do you turn a tree into a financial asset? In The Offsetted, Cooking Sections (Daniel Fernández Pascual and Alon Schwabe) explores the legacy of “America’s greenest mayor” Michael Bloomberg, who championed afforestation to increase local resistance to storms and improve energy conservation, while at the same time transforming trees into carbon reserves for industrialists to offset their environmental damage. Bagaimanakah kamu merubah sebatang pohon menjadi aset finansial? Dalam Yang Digantirugikan, Cooking Sections (Daniel Fernández Pascual dan Alon Schwabe) mengeksplorasi warisan dari “walikota Amerika paling hijau,” Michael Bloomberg, yang memperjuangkan penghijauan untuk meningkatkan ketahanan lokal terhadap badai dan memperbaiki konservasi energi, sementara pada saat yang sama mengubah pohon menjadi cadangan karbon untuk kaum industrialis untuk mengimbangi kerusakan lingkungan yang mereka sebabkan.
Cooking Sections -
A conversation with T.J. Demos Percakapan dengan T.J. Demos mengenai Budaya Visual dan Lingkungan Oleh Charlotte Dumoncel d’Argence dan Laura Herman
Against the Anthropocene: Visual Culture and Environment Today is a particular attempt to critique the Anthropocene thesis. It proposes different, critical perceptual lenses and methodologies by drawing on decolonial forms emerging out of indigenous histories and social practices. It calls for a ‘movement of movements’ in order to work towards a multiplicity of ways of thinking, forms of sensibility, and modes of representation. Melawan Antroposen: Budaya Visual dan Lingkungan Saat ini adalah upaya khusus untuk mengkritik tesis Antroposen. Ini mengusulkan lensa persepsi kritis dan metodologi berbeda dengan menggambarkan bentuk-bentuk dekolonialisasi yang muncul dari sejarah pribumi dan praktik sosial. Ini menyerukan “gerakan dari gerakan” untuk bekerja menuju beragam cara berpikir, sensibilitas, dan cara-cara representasi.
C. Dumoncel d’Argence and Laura Herman -
Terhah Language Bahasa Terhah
Terhah is a language composed of an alphabet grown from cells in petri dishes. It was born from the imagination and need of Syaiful Garibaldi, as a tool for weaving together nature and culture and give language to it. Here, Terhah was implemented to translate the article Co-occurrence of linguistic and biological diversity in biodiversity hotspots and high biodiversity wilderness areas. Terhah joins together the act of writing about nature with the act of writing with nature. Terhah adalah bahasa dimana alfabet ditumbuhkan dari sel di dalam cawan petri, dan dilahirkan dari imajinasi dan kebutuhan Syaiful Garibaldi sebagai alat yang menjalin hubungan antara alam dan budaya. Diimplementasikan untuk diterjemahkan sebagai co-occurrence dari linguistik dan keanekaragamana biologis dalam hotspot keanekaragaman hayati dan daerah hutan belantara dengan jumlah keanekaragaman hayati yang tinggi, Terhah menjembatani menulis mengenai alam dan menulis dengan alam.
Syaiful Garibaldi -
Pulau Yang Nyasar Pulau Yang Nyasar
Through gravity and groundlessness, Alexis Gautier’s film follows a drifting island in the Komodo National Park—an attempt to capture the island’s birth, its myths and inherent paradoxes, as well as its physical and semantic mobility. How many ways are there to understand the nature of an island? Melalui gravitasi dan ketidakberalasan, film ini mengikuti sebuah pulau yang hanyut di Taman Nasional Komoda dan mencoba menangkap kelahirannya, mitos dan paradoks yang melekat, serta mobilitas fisk dan semantiknya. Berapa banyak cara untuk membahas dan memahami sifat sebuah pulau?
Alexis Gautier -
Forest Burning and the Identity of the Iban tribe Pembakaran Hutan dan Identitas suku Iban Percakapan dengan Stephanus Mulyadi
The Dayak community and their lifestyle in symbiosis with nature is threatened by a global agricultural plan and monocultures. Jimmy Hendrickx recorded the words of Stephanus Mulyadi, a witness of the changes in his society, about the need and difficulty to hold on to their ancestral wisdom, and on the importance of traditional tattoo. Komunitas Dayak dan gaya hidup mereka dalam simbiosis dengan alam terancam oleh rencana pertanian global dan monokultur. Jimmy Hendrickx mencatat kata-kata Stephanus Mulyadi sebagai saksi perubahan dalam masyarakatnya, tentang kebutuhan dan kesulitan untuk kearifan Lokal mereka, dan pentingnya tato tradisional.
Jimmy Hendrickx -
Saksi Bisu (Silent Witness) / Let Me Take You to a Tropical Paradise. Saksi Bisu/ Mari Kubawa Dirimu Menuju Surga Tropis
Nature in Elisabeth Ida’s film Saksi Bisu (Silent Witness) is not what it seems. It appears to be light, idyllic, and exotic, yet as silent witness it conceals a dark episode from Indonesian history that is seldom discussed openly. A conversation with Elisabeth Ida on the events of 1965 and the notion of nature as a silent witness. Alam dalam film Saksi Bisu oleh Elisabeth Ida bukanlah seperti yang terlihat. Alam terlihat ringan, surgawi dan eksotis, namun sebagai saksi biksu yang menyembunyikan episode kelam dari sejarah Indonesia yang jarangkali didiskusikan dengan terbuka. Percakapan dengan Elisabeth Ida mengenai peristiwa 1965 dan alam sebagai saksi biksu.
Laura Herman and Elisabeth Ida -
Hujan emas di negri orang, hujan batu di negri sendiri Hujan emas di negri orang, hujan batu di negri sendiri
According to Setu Legi, it is land and water, not oil and coal, that lie at the basis of life. It seems far more important to take care of the environment than to ask only what it can bring us. Setu Legi’s work cross-references natural elements with what they are destined to become. Biodiversity winds up as bio-uniformity. Tanah dan air, bukan minyak dan batu bara sebagai dasar dari kehidupan, menurut Setu Legi. Merawat lingkungan, daripada mengeksplorasi apa yang dapat dihasilkannya adalah lebih penting. Karya Setu Legi terdiri dari rujukan pada elemen alam dan apa yang menjadi takdir mereka. Keanekaragaman hayati menjadi keseragaman hayati.
Setu Legi -
Making the monkey Menciptakan si Monyet
In Togean Island, anthropologist Celia Lowe witnessed and reported the acts of “making, unmaking, and remaking” a monkey, its unique and endemic status being crucial for the preservation their living area; while observing an indonesian and american scientific collaboration in a postcolonial context. Di Kepulauan Togean, antropolog Celia Lowe menyaksikan dan melaporkan tindakan dari “membuat, membatalkan, dan membuat ulang” si monyet, yang mana status unik dan endemiknya krusial untuk menjaga daerah tinggal mereka; sambil mengamati kolaborasi ilmiah Indonesia dan Amerika dalam konteks poskolonial.
Celia Lowe -
Everything Everything (Segalanya)
Everything is a videogame conceived as an interactive experience, where everything you see is a thing you can be; from animals to plants to galaxies and beyond. Everything is a simulation of the systems of nature, a limitless playground to enjoy a non-anthropocentric experience of the universe. Everything (Segalanya) adalah videogame yang dibuat sebagai pengalaman interaktif yang mana segala yang anda lihat adalah segalanya yang anda bisa menjadi, dari binatang menjadi tanaman menjadi galaksi dan melampaui semuanya. Everything adalah simulasi dari sistem alam, taman bermain yang tanpa batas untuk menikmati pengalaman non-antrophosentris dari alam semesta.
David O’Reilly -
Where Farming Methods Read as Poems Di mana Metode Pertanian Dibaca Sebagai Puisi
The inherited commons in Indonesia are valuable natural capital under continuous threat. Yasmine Ostendorf describes how art collectives across Indonesia create alternative ways of dealing with resources, alternative currencies, and skills. Artists communities play an important role in society, where art and cultural expression is integrated in farming practices. A strong DIWO (do-it-with-others) ethic and arts infrastructure makes commoning in Indonesia possible. Kepemilikan umum yang diwariskan di Indonesia adalah modal alam yang berharga berada di bawah ancama yang terus menerus. Yasmine Ostendorf menggambarkan bagaimana kolektif seni di berbagai bagian di Indonesia menciptakan cara-cara alternatif dalam menangani sumber daya, mata uang alternatif dan keterampilan-keterampilan. Komunitas seniman memainkan peran penting dalam masyarakat, dimana seni dan ekspresi kebudayaan terintegrasi dalam praktik pertanian. Etik yang kuat semacam DIWO (do-it-with-others– lakukan dengan orang lain) dan infrastruktur seni membuat kepemilikan umum di Indonesia memungkinkan untuk terjadi.
Yasmine Ostendorf -
Tidal Migration Pattern of Seaweed Spirit when Moon is Shining Pola Migrasi Roh Rumput Laut di kala Pasang Surut ketika Bulan Bersinar
Filip Van Dingenen spent several years researching seaweed and witnessed the traditionally harvested plant transform into an international commodity. Van Dingenen’s contribution consists of seaweed pressings, based on traditional Victorian preservation techniques. His work is driven by a desire for interspecies diplomacy and encourages us to imagine how colonies of underwater sea-plants might think - beyond scientific narratives of seaweed. Filip Van Dingenen menghabiskan beberapa tahun meneliti rumput laut dan menyaksikan bagaimana tumbuhan yang dipanen secara tradisional bertransformasi menjadi komoditas internasional. Kontribusi Van Dingenen terdiri pengeringan rumput laut menggunakan pengepresan, berdasarkan teknik pengawetan tradisional Viktorian. Karyanya didorong dengan keinginan untuk diplomasi interspesies dan mendorong kita untuk membayangkan bagaimana koloni tanaman bawah laut berpikir, melampaui naratif ilmiah dari rumput laut.
Filip Van Dingenen